DICKY, SI CHEF KEREN dan BELAGU III
Bagian 4 Dari 4 : "Kenapa Tuhan Kayak Nggak Peduli?""Bisa kau sebutkan? Satu saja rencana Tuhan yang kau bilang ‘lebih baik’ itu?”
Charisma hampir tidak pernah berdebat denganku. Dia
selalu menghindari debat kusir dengan siapapun. Tak kusangka, dia kini menggugat keyakinanku
tentang keadilan Tuhan.
“ Kris! Aku nggak yakin bisa
ngejawab pertanyaanmu!” ujarku, ”…pertama karena aku bukan rohaniwan, ataupun
tokoh spiritual yang…”
“ Tapi kamu seorang penulis Xervan!” potong Charisma, “… Analisismu
dianggap akurat! Kamu bilang: kamu percaya seratus persen kalo Tuhan ada!” ujar
Charisma dengan nada tinggi, “… Tolong jawab Xervan! Kenapa Tuhan membiarkan
kakak iparku mati kena kanker, tapi para penjahat dibiarkan hidup tenang di
dunia ini? Kenapa Van?” lanjutnya.
Aku tidak bisa menjawab. Kami
berdua terdiam
“ Tiga tahun lalu, tokoh forensik terkenal, dokter Luminta Hartly, diberitakan meninggal karena tabrak lari!” ujar
Charisma memecah keheningan, “…masyarakat dan tokoh-tokoh hukum ikut menangis. Kamu
ingat kejadian itu Van?” lanjut Charisma.
“ Itu kecelakaan, bukan tabrak
lari! Pelakunya sudah mengaku khilaf dan dihukum!”
“ Tapi papamu tetap meninggal,
gimana perasaanmu saat itu Van?”
“Perasaanku? Ya! Aku ingat! Banyaknya
pelayat, dan ucapan belasungkawa yang kami terima nggak bisa nyembuhin
kepedihan kami atas kepergian Papa! Itulah salah satu hari tersuramku Kris!”
jawabku.
“ Kenapa Van? Kenapa Tuhan biarkan
hamba hukum sebaik papamu meninggal duluan, sementara si pelaku tabrak larinya malah
sudah bebas?”
Aku terdiam lagi. Itu pertanyaan yang
sama dengan pertanyaanku tiga tahun lalu. Papaku memang aktif sebagai konsultan
forensik. Analisanya berhasil menolong polisi memecahkan berbagai kasus
kriminal, serta mengungkap pelaku kejahatan. Waktu itu Papa sering mengajak dan
mengajariku praktek analisis forensik di lapangan. Aku begitu bangga berada di
tengah-tengah para penegak hukum yang sangat menghormati Papa. Itulah masa-masa
terindah yang hilang dariku. Sepertinya gugatan Charisma memang beralasan.
Tuhan membiarkan maut merenggut kebahagiaan masa mudaku.
***
“ Sori Van, kalau omonganku rada
keras. Aku nggak bermaksud menggoyahkan keimananmu. Hanya saja…, aku hanya…, kenapa
harus kakak iparku Van?!” ujar Charisma.
Aku menatap Charisma dan mengangguk
mencoba faham.
“ Aku juga nggak bermaksud ngorek
luka lamamu, aku cuma nggak ngerti …” Charisma kehilangan kata-katanya,”Aku
heran, kenapa kok kayak Tuhan nggak peduli!…bantu aku Xervan! Tolong bantu aku
memahami kehendak Tuhan yang katanya; ‘selalu baik’ itu! Aku pengin sepertimu
Xervan, aku pengin bisa berdamai dengan Tuhan. ”
“ Kris! Sebenarnya aku nggak
setegar itu juga. Kita sama-sama nggak ngerti maksud Tuhan atas penderitaan kita.
Aku hanya yakin Tuhan punya rencana yang lebih baik dari perkiraan kita.”
“ Hahaha… itu udah ratusan kali
kudengar Van! Bisa kau sebutkan? Satu saja rencana Tuhan yang kau bilang ‘lebih
baik’ itu?”
Papa selalu mengajariku bahwa rencana
Tuhan selalu baik. Aku yakin sepenuhnya dengan ajaran itu. Tapi gimana caraku
mempertanggungjawabkan keyakinanku ke Charisma?
“ Kris, aku mau tanya, …tongseng
kambingnya tadi enak nggak?”
“ Ya enak banget, tapi apa hubungannya
dengan…”
“ Kenapa tongsengnya bisa enak Kris?”
“ Hei..., Kamu jangan menghindar
dari pertanyaanku Van! Aku tadi nanya…”
“Dengar Kris! Tongseng kambingnya
enak, karena ada sosok Dicky yang lihay,
dan tahu persis cara memadukan santan, cabe, garam, potongan daging serta bumbu
lainnya secara pas, menjadi semangkuk tongseng kambing yang kita makan tadi.”
“ Intinya aku harus bersyukur
karena masih bisa makan dan minum tongseng, gitu kan? Itu nggak ngejawab
pertanyaanku Van!”
“ Dengar dulu Kris! Bayangin, di
dapurmu saat ini ada seekor kambing hidup, ada kelapa utuh, sebongkah garam,
kompor dan alat-alat masak lainnya. Jika kebetulan tiba-tiba datang angin puyuh
dan memporak-porandakan seluruh isi dapurmu, apa yang akan terjadi dengan isi
dapurmu?”
“ Seluruh isi dapur akan berserakan
ke mana-mana kurasa!”
“Bener Kris! Dari putaran angin
puyuh itu mungkin akan keluar pecahan
piring, bongkahan batu bata, serta serpihan-serpihan isi dapurmu.”
“ Trus?”
“ Menurutmu, berapa persenkah
kemungkinan pisau dapur dan seekor kambing yang terhisap angin puyuh tadi, akan
menghasilkan potongan daging yang rapi, lengkap dengan kol, cabe, santan dan
bumbu yang lain, dan secara kebetulan tercampur di dalam mangkuk menjadi sebuah
masakan tongseng kambing yang lezat?”
“ Nol persen donk! Tapi, arrgghhh…,
kamu mau ngomongin apa sih Van?”
“Perlatan dapur dan bahan makanan
yang dicampur-aduk secara acak, takkan secara kebetulan menghasilkan makanan
yang enak. Semangkuk tongseng kambing lezat tercipta karena ada campur tangan
seorang Chef yang tahu cara memotong irisan kambing, memasukkan kuah santan ke
wajan, serta mengolahnya dengan api yang tepat.”
“ Kamu mau nyamain deritaku dengan
tongseng kambing?”
“ Aku cuma mau bilang, segala
sesuatu ada maksudnya. Lihat sekelilingmu Kris! Kau bisa bertemu denganku, pada
situasi seperti ini, lengkap dengan teman-teman yang peduli padamu? Apa ini
bukan hidangan kehidupan yang nikmat? ”kataku sambil menunjuk ke arah
teman-teman, “Kau pikir perkenalan kita berdua hanyalah hasil kebetulan acak?”
Charisma memandang ke para undangan;
Lestari, Freska, Chensy, Renata, Deni,
Setyo, Randy,
Sudibyo, Eron dan Demas, mereka terlihat gembira menikmati banyolan
Dicky.
“ Aku bisa merasakannya Kris!
Kedengarannya konyol! Tapi kamu benar! Hidup kita memang mirip tongseng
kambing! Ada tangan-tangan yang berkerja dibalik semua musibah yang kita alami.
Dan sejauh ini, kurasa menu yang Tuhan sajikan masih terasa nikmat. Potongan
dagingnya sangat pas! Tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar.”
Charisma masih terdiam sambil menatap
ke arah Dicky dan teman-teman.
“ Tadi kau minta aku nyebutin satu
aja rencana Tuhan yang ‘selalu baik’ dibalik penderitaan kita. Lihat Kris! Sekarang
kita berdua bisa saling ngerti betapa pedihnya kehilangan orang yang kita
sayangi. Kini kita bisa menolong orang lain untuk bangkit lagi, jika suatu saat
mereka kena musibah yang sama.”
Charisma menoleh dan menatapku.
Matanya mulai bersinar-sinar. Kurasa dia mulai mendapat pencerahan.
“Cuma itu doank Van!”
“Bukannya kamu cuma minta satu
contoh? ”
“ Oke…, untuk sementara kuterima
argumentasimu Van! Jika si Chef membuang bulu kambing ke bak sampah, aku juga nggak
akan protes dan maksain dia untuk masukin bulu itu ke mangkuk tongsengku!” Ujar
Charisma dengan tersenyum.
“ …tapi pertanyaanku masih belum
terjawab Van! Kenapa orang jahat hidup lebih lama dan nasibnya lebih mujur dari
orang baik?”
“ Nanti kujawab kalo aku sudah tahu
jawabannya ya Kris, hehehe…”
Charisma tertawa. Aku sedikit lega.
Dialog singkat kami sanggup merubah suasana hati Charisma, walau belum pulih
seutuhnya. Aku masih berhutang pada Charisma pertanyaan yang aku juga belum
tahu jawabannya. Kami berdua berjalan dan kembali bergabung dengan yang lain,
menikmati banyolan Dicky. Kini aku sadar! Berbagi kepedihan dengan Charisma membuatku
bisa lebih mensyukuri semua yang telah Tuhan berikan untukku hari ini. Entah
kenapa, rasa iriku kepada Dicky tiba-tiba seperti lenyap tanpa bekas. Kini aku bisa
tertawa lepas menikmati lelucon Dicky, sama seperti teman-teman yang lain. Mungkin
Dicky juga sama seperti Charisma. Kami tidak tahu kepedihan apa yang mungkin dialami
Dicky, dibalik kemampuannya melucu dan menjadi pusat perhatian cewek-cewek
cantik ini.
No comments:
Post a Comment